Expert jurnalisme data, jurnalisme konstruktif, writing specialist, MEAL, data classification and summarization, dan Web designer dengan Elementor
Kebuntuan Pelecahan Seksual dalam Relasi Guru dan Murid
Rabu, 19 Maret 2025 11:33 WIB
Pelecehan seksual bukanlah fenomena yang hadir karena ia ingin hadir, melainkan karena fenomena itu dipaksa untuk ada.
Di ruang kelas, guru berdiri di depan kelas bukan hanya sebagai penyampai ilmu kepada murid, tetapi juga sebagai pemegang otoritas. Pada guru, ada kuasa untuk membentuk karakter, menanamkan nilai-nilai, dan menciptakan lingkungan belajar yang aman. Karena itu, guru dipercaya sebagai figur yang mengarahkan, melindungi, dan mendidik. Suatu kepercayaan yang kemudian menciptakan horizon pengalaman yang diatur oleh ekspektasi bahwa guru tidak mungkin melakukan tindakan pelecehan seksual.
Namun, ekspektasi ini tak jarang berbenturan dengan kenyataan sebab sudah banyak berita-berita di media sosial maupun media massa menampilkan pelecehan seksual yang dilakukan guru terhadap murid. Kekerasan seksual membuat ekspektasi tentang guru mengalami keretakan. Pelecehan seksual tidak hanya meretakkan moralitas, tetapi juga meretakkan kerangka epistemologis yang membentuk pemahaman korban dan masyarakat tentang guru sebagai figur yang melindungi dan mendidik.
Keretakan figur guru sebagai konsekuensi dari tindakan pelecehan seksualnya telah menghilangkan aspek fenomenologis dari relasi guru dan murid. Barangkali fenomenologi pemberian dari Jean-Luc Marion dapat menjadi titik tolak untuk memahaminya. Marion mengembangkan konsep pemberian (donnéité), yaitu bagaimana sesuatu menjadi fenomena dengan memberikan dirinya sendiri tanpa paksaan dan tanpa dikendalikan oleh subjek.
Baginya, fenomena sejati hanya muncul ketika ia memberikan dirinya sendiri (gives itself) dan memperlihatkan dirinya sendiri (shows itself) dalam kebebasannya. Fenomena tidak boleh dipaksa atau dikendalikan oleh suatu subjek yang mendominasinya karena tindakan tersebut akan mengasingkan fenomena dari dirinya sendiri dan menjadikannya sekadar objek bagi subjek yang mengontrolnya.
Pengasingan inilah yang terjadi pada pelecehan seksual yang dilakukan oleh guru terhadap murid. Pelecehan seksual menghilangkan dimensi fenomenologis karena peristiwa ini bukanlah fenomena yang hadir karena ia ingin hadir, melainkan karena fenomena itu dipaksa untuk ada. Fenomena pelecehan seksual diambil alih oleh guru sehingga fenomena itu kehilangan keotentikan dan berubah menjadi sekadar objek dalam struktur kekuasaan dan otoritas seorang guru. Pelecehan seksual menjadi fenomena yang tidak otentik karena ia tidak hadir sebagai sesuatu yang memberi dirinya sendiri, melainkan sebagai sesuatu yang dipaksakan dan mengasingkan penerimanya yakni murid.
Padahal menurut Jean-Luc Marion, fenomena mesti memberikan dirinya sendiri kepada penerima, terlepas dari kesadaran atau intensionalitas subjek. Penerima pemberian harus memiliki kapasitas untuk menerima pemberian tersebut secara bebas. Penerima adalah syarat mutlak bagi pemberian yang sejati, di mana penerima memiliki hak penuh untuk mengakui atau menolak pemberian tersebut. Artinya, menerima sebuah pemberian selalu melibatkan suatu bentuk pengakuan terhadap keberadaan pemberian itu sendiri.
Penerima fenomena lebih diutamakan oleh Jean Luc Marion sebagai alternatif terhadap konsep yang terlalu menekankan subyek sebagai pusat pengalaman, pusat eksistensi, keberadaan dalam dunia, dan kesadaran sebagai pusat pengalaman sebagaimana diklaim oleh Descartes dengan cogito ergo sum, Kant dengan kesadaran diri transendental, Heiddeger dengan Dasein-nya, dan Edmund Husserl dengan fenomenologi kesadarannya. Jean-Luc Marion memberikan tempat kepada konsep penerima pemberian ketimbang subyek.
Karena dalam konsep subyek ada aporia atau kebuntuan yakni tidak benar-benar membuka kemungkinan bagi kehadiran "yang lain, tidak memberikan dirinya sendiri kepada yang lain sebagai penerima dan terlepas dari konstruksi subyek. Itulah aporia atau kebuntuan yang juga membayangi tindakan pelecehan seksual terhadap murid yakni murid kehilangan statusnya sebagai penerima fenomena yang otonom dan bebas.
Hal ini karena fenomena pelecehan seksual sepenuhnya dikondisikan dan dikontrol oleh subyek yang berkuasa yakni guru. Dalam pelecehan seksual murid tidak diberikan pilihan untuk menerima atau menolak oleh guru, tetapi dipaksa untuk menerima pelecehan seksual Dengan demikian, penerimaan terhadap fenomena pelecehan seksual bukan lagi sebuah keputusan bebas, melainkan sesuatu yang dipaksakan dalam relasi kuasa.
Untuk mengatasi distorsi ini, pendidikan harus bertransformasi dari hubungan subjek-objek yang hierarkis menjadi hubungan subjek-penerima. Transformasi ini bukan sekadar konsep, melainkan harus menjadi praktik. Hal itu berarti bahwa murid harus diajarkan untuk memahami dan menghargai pengalaman mereka sendiri sebagai penerima fenomena sehingga mereka dapat mengenali dan menolak bentuk-bentuk interaksi yang mencabut kebebasan mereka. Jika murid mengalami pelecehan, maka harus ada mekanisme untuk mengembalikan keotentikan pengalaman mereka termasuk sistem pelaporan dan dukungan perlindungan anak yang memungkinkan mereka mengalami kembali fenomena pendidikan dalam bentuk yang sehat dan bebas.
Di samping itu, sekolah perlu menerapkan etika penerimaan di mana guru harus melihat murid sebagai penerima yang otonom, bukan sebagai objek yang dikontrol. Di situ, pendidikan harus dirancang untuk memungkinkan murid menerima pengetahuan dan pengalaman dengan kebebasan penuh. Karena itu, di dalam ruang kelas tak ada yang lebih tinggi, tak ada yang lebih rendah. Yang ada hanyalah dua manusia yang saling berjumpa. Barangkali ini bukan sekadar soal pendidikan, tetapi soal bagaimana kita memandang manusia.

Penulis Indonesiana
0 Pengikut

Sanpukat dan Kindermissionwerk-Jerman Kampanye Perlindungan Anak Maumere
Sabtu, 26 Juli 2025 12:59 WIBArtikel Terpopuler